Pesan Pembuka

Selamat Datang Kaum Intelektual Sang Pemerhati Ekonomi

Jumat, 13 Januari 2012

ACFTA dan Indonesia

Kajian Hukum ACFTA

AC-FTA (Asean-China Free Trade Area) merupakan isu publik yang mencuat pada akhir tahun 2009 hingga awal 2010 sebagai respons atas pemberlakuan perdagangan bebas Asean-China.

Jika dilihat dari kronologis pemberlakuan AC-FTA bukan secara tiba-tiba diberlakukan pada tahun 2010 tetapi telah ditandatangani jauh-jauh hari sejak tahun 2002, yang waktu itu oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, artinya terdapat tenggang waktu yang sangat leluasa jika hendak mempersiapkan diri dalam menghadapi perdagangan bebas tersebut. Setiap departemen yang terkait dengan AC-FTA punya banyak waktu untuk merumuskan program kerjanya agar masyarakat Indonesia siap dalam menghadapi hal tersebut. Memang budaya bangsa kita masih belum siap untuk mempersiapkan segala sesuatu dari jauh-jauh hari, masih senang dengan sesuatu yang instan, ketika akan terjadi di depan mata baru sadar atas apa yang terjadi. Ibarat sopir yang kaget ketika sadar dari kantuk dan banting setir secara spontan. Kurang tepat jika dikatakan stakeholders (pelaku bisnis, masyarakat, dan pemerintah daerah) tidak tahu atas rencana pemberlakuan AC-FTA ini dengan alasan tidak disosialisasikan oleh pemerintah pusat. Media informasi saat ini begitu terbuka, akses masyarakat terhadap informasi sangat luas, sehingga tidak mungkin hal itu terjadi. Bukan bermaksud mengurai siapa yang salah, akan tetapi berusaha menempatkan permasalahan pada porsi yang sebenarnya, dan bukan saatnya saat ini membahas siapa yang salah.

Berbagai tanggapan dari masyarakat, baik yang pro dan kontra bermunculan. Bahkan isu AC-FTA ini menjadi salah satu tema sentral dari demo tanggal 28 Januari pada 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan program kerja 100 hari. Demo 100 hari pemerintahan SBY namun yang didemo bukan program 100 harinya tetapi kasus Century dan AC-FTA.

Tanggapan-tanggapan di media massa bertebaran baik dari para pengamat ekonomi, pelaku bisnis, serikat pekerja, dan sebagainya, bahkan banyak tulisan dan wawancara yang dimuat dari para anggota DPR Komisi VI DPR-RI. Di antaranya adalah tulisan dari salah seorang anggota Fraksi PKS yang menulis mengenai kajian hukum pemberlakuan AC-FTA. Inti tulisan tersebut hendak mengatakan bahwa AC-FTA cacat hukum sehingga harus dibatalkan. Tulisan lainnya adalah dari anggota Fraksi Golkar yang menulis mengenai Peluang dan Tantangan AC-FTA, yang mengulas mengenai AC-FTA dilihat dari aspek positif dan negatifnya.

Kajian Hukum AC-FTA

Dasar hukum AC-FTA adalah Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between ASEAN and PRC (People’s Republic of China) yang ditandatangani oleh Presiden RI (dijabat oleh Megawati) pada tanggal 4 November 2002, di Phnom Penh, Kamboja. Kepala negara RI dan seluruh Kepala Negara ASEAN serta Kepala Pemerintahan RRC menandatangani perjanjian ini yang antara lain memuat modalitas perjanjian perdagangan barang dan target perwujudan AC-FTA secara bertahap dan mencapai implementasi penuh pada tahun 2010 (dengan dihapusnya tarif untuk produk dalam kategori Normal Track-1). Selanjutnya, pada tanggal 15 Juni 2004 framework tersebut diratifikasi oleh Presiden RI melalui Kepres Nomor 48 tahun 2004.

Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah ratifikasi perjanjian AC-FTA tersebut sah secara hukum? Undang-undang Dasar 1945 Pasal 11 ayat 3 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Sesuai dengan amanah UUD 1945 tersebut maka terbitlah Undang-undang No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Maka, dasar hukum penandatanganan dan pemberlakuan Perjanjian AC-FTA mengacu ke Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tersebut.

Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 dalam Bab III Pengesahan Perjanjian Internasional Pasal 9 ayat 2 dinyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional bisa dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Adapun dalam Pasal 10 dipersyaratkan pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan 6 hal, yaitu: (1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, (2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI, (3) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (5) pembentukan kaidah hukum baru, dan (6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Selanjutnya, dalam Pasal 11 Undang-undang tersebut dinyatakan pula bahwa pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10 dilakukan dengan keputusan presiden. Dari konteks Pasal 11 ini secara tegas dan meyakinkan bahwa pengesahan perjanjian internasional AC-FTA yang termasuk kategori perdagangan dilakukan melalui Kepres bukan oleh Undang-undang, sehingga ratifikasi AC-FTA adalah sah secara hukum.

DPR memang bisa membatalkan perjanjian internasional sesuai dengan penjelasan Pasal 11 ayat 2 dari Undang-undang Perjanjian Internasional, dengan syarat jika dipandang merugikan kepentingan nasional. Kata kuncinya di sini adalah kepentingan nasional. Argumentasi untuk membuktikan merugikan kepentingan nasional inilah yang harus dibuktikan.

Selain itu terdapat prinsip perjanjian internasional yang masih diperdebatkan karena prinsip tersebut multi-interpretasi, yaitu sesuai Pasal 4 ayat 2: prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan sesuai dengan hukum. Prinsip persamaan diantaranya diartikan dengan prinsip kesetaraan, artinya dalam kerjasama internasional harus sejajar posisinya, seperti orang yang hendak bertanding lari atau balapan harus berada dalam satu garis start yang sama. Padahal dalam pertandingan lari atau balapan pun garis start tidak sama sejajar tetapi sesuai dengan posisi nomor urut, nomor satu di depan, nomor dua di belakangnya dan seterusnya. Awal start jelas bukan faktor yang menentukan kemenangan dalam bertanding.

Optimisme versus Psimisme

Perdebatan masalah soal keadilan dan persamaan telah banyak dibahas oleh para filosof, hal ini terkait dengan nilai-nilai dasar (foundational values) yang melandasi teori-teori keadilan, seperti teori Rawls yang dikenal dalam buku A Theory of Justice, dan dikritisi oleh Kymlicka (2004). Perdagangan bebas dalam pandangan Rawls (Theory of Justice) harus berdasarkan pada landasan fairness (kesetaraan), yaitu memberikan keuntungan terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan dan membuka kesempatan yang fair. Adapun pPrinsip keadilan dalam filsafat Islam dapat dilihat dalam karya al-Farabi, sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles. Pada pemikiran Al-Farabi lebih menekankan pada konsep proporsional (menempatkan sesuatu pada tempatnya), keadilan tidak diartikan dengan prinsip kesamaan. Kaitannya dengan perdagangan, dalam bentuk apapun memang ada kelompok besar dan kecil yang terlibat. Ketika keduanya bersatu harus berdasarkan prinsip kesetaraan tanpa harus menghilangkan perbedaan tersebut.

Kesetaraan jelas berbeda dengan kesamaan, keseteraan mentolerir perbedaan di dalamnya karena tidak bisa semuanya menjadi sama, akan tetapi kesamaan (identik) merupakan jargon pemikiran Marx yang tidak mentolerir adanya perbedaan. Persamaan kedudukan yang tercantum dalam Undang-undang Perjanjian Internasional tidak dijelaskan maksudnya dalam penjelasan undang-undang tersebut. Pasti bukan ke arah konsep kesamaan karena negara kita bukan negara penganut Marxisme, akan tetapi pada kesetaraan. Kaitannya dengan perdagangan Indonesia dan China, memang terdapat perbedaan, produk China terkenal dengan harganya yang murah dan relatif bagus sehingga dapat bersaing dengan produk lokal. Namun, harga saja bukan faktor krusial yang menentukan konsumen untuk membeli. Konsumen juga memperhatikan kualitas, purna jual, pelayanan, dan faktor-faktor lain. Seperti dikemukakan oleh Kotler (2005), pakar pemasaran internasional, bahwa keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh 4P (Product/Produk, Price/Harga, Place/Distribusi, Promotion/Promosi), sehingga perbedaan-perbedaan tersebut jangan dihilangkan, biarkan konsumen yang menentukan.

Prinsip saling menguntungkan dalam AC-FTA dibantah dengan argumentasi bahwa Indonesia banyak dirugikan daripada diuntungkan dengan perjanjian perdagangan tersebut. Logika ini pun tidak tepat. Harus ada standar yang jelas ketika melakukan justifikasi keuntungan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Alasan utama yang sering didengungkan adalah AC-FTA banyak menumbangkan industri nasional. Jangan menutup mata bahwa AC-FTA juga memberikan peluang untuk melakukan ekspansi pasar yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia, seperti produk-produk pertanian, perkebunan, pertambangan, tekstil, industri kreatif, jasa dan sebagainya. Permasalahannya bukan di AC-FTA-nya tetapi sesungguhnya pada kekuatan daya saing industri nasional yang lebih rendah dengan industri China. Hal ini harus didekati dengan pendekatan konstuktif bukan destruktif. Ibarat ada tikus di rumah bukan rumahnya yang harus dibakar, tetapi dicari tikusnya dan singkirkan dari rumah tersebut. Jika permasalahan adalah pada kekuatan daya saing industri nasional, bukan berarti harus dibatalkan perdagangan tersebut. Departemen Perindustrian harus lebih berperan aktif agar industri-industri nasional tidak terpinggirkan, dengan cara memperbaiki masalah-masalah yang terkait dengan “ekonomi biaya tinggi”, antara lain perbaikan infrastuktur, permodalan, ketenagakerjaan, dan faktor-faktor lainnya.

Di samping itu, pemerintah yang dikoordinasi oleh Menteri Perdagangan diminta untuk merundingkan kembali 228 pos tarif dan saat ini telah mendapat respons yang positif. Di samping itu, perindustrian Indonesia harus memacu dirinya, karena jika tidak demikian maka akan terjadi stagnasi karena tidak ada tantangan.

Tantangan dalam bisnis biasa terjadi, di saat Amerika mengalami krisis global, perusahaan besar seperti Signicast, Microsoft, AOL, Barnes & Noble, Amazon, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya mengalami perubahan strategis dan kultural yang membuat mereka harus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Berdasarkan hasil sebuah penelitian, bahwa keberhasilan mereka adalah memberikan kepercayaan dan membina optimisme di antara karyawan-karyawannya. Hal ini yang harus diadopsi dalam menyikapi AC-FTA bagi masyarakat Indonesia, bukan psimisme yang ditanamkan tetapi rasa optimisme selain tentunya melakukan berbagai perbaikan seperti telah disebutkan sebelumnya.

**) DR. Abdurrahman Abdullah, MA, Anggota DPR-RI Fraksi Partai Demokrat, No. Anggota A-539, Komisi VI.

Sumber: http://www.abdurrahmancenter.com/index.php/artikel/1237-kajian-hukum-acfta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar