Pesan Pembuka

Selamat Datang Kaum Intelektual Sang Pemerhati Ekonomi

Jumat, 13 Januari 2012

ACFTA dan Indonesia

Kajian Hukum ACFTA

AC-FTA (Asean-China Free Trade Area) merupakan isu publik yang mencuat pada akhir tahun 2009 hingga awal 2010 sebagai respons atas pemberlakuan perdagangan bebas Asean-China.

Jika dilihat dari kronologis pemberlakuan AC-FTA bukan secara tiba-tiba diberlakukan pada tahun 2010 tetapi telah ditandatangani jauh-jauh hari sejak tahun 2002, yang waktu itu oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, artinya terdapat tenggang waktu yang sangat leluasa jika hendak mempersiapkan diri dalam menghadapi perdagangan bebas tersebut. Setiap departemen yang terkait dengan AC-FTA punya banyak waktu untuk merumuskan program kerjanya agar masyarakat Indonesia siap dalam menghadapi hal tersebut. Memang budaya bangsa kita masih belum siap untuk mempersiapkan segala sesuatu dari jauh-jauh hari, masih senang dengan sesuatu yang instan, ketika akan terjadi di depan mata baru sadar atas apa yang terjadi. Ibarat sopir yang kaget ketika sadar dari kantuk dan banting setir secara spontan. Kurang tepat jika dikatakan stakeholders (pelaku bisnis, masyarakat, dan pemerintah daerah) tidak tahu atas rencana pemberlakuan AC-FTA ini dengan alasan tidak disosialisasikan oleh pemerintah pusat. Media informasi saat ini begitu terbuka, akses masyarakat terhadap informasi sangat luas, sehingga tidak mungkin hal itu terjadi. Bukan bermaksud mengurai siapa yang salah, akan tetapi berusaha menempatkan permasalahan pada porsi yang sebenarnya, dan bukan saatnya saat ini membahas siapa yang salah.

Berbagai tanggapan dari masyarakat, baik yang pro dan kontra bermunculan. Bahkan isu AC-FTA ini menjadi salah satu tema sentral dari demo tanggal 28 Januari pada 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan program kerja 100 hari. Demo 100 hari pemerintahan SBY namun yang didemo bukan program 100 harinya tetapi kasus Century dan AC-FTA.

Tanggapan-tanggapan di media massa bertebaran baik dari para pengamat ekonomi, pelaku bisnis, serikat pekerja, dan sebagainya, bahkan banyak tulisan dan wawancara yang dimuat dari para anggota DPR Komisi VI DPR-RI. Di antaranya adalah tulisan dari salah seorang anggota Fraksi PKS yang menulis mengenai kajian hukum pemberlakuan AC-FTA. Inti tulisan tersebut hendak mengatakan bahwa AC-FTA cacat hukum sehingga harus dibatalkan. Tulisan lainnya adalah dari anggota Fraksi Golkar yang menulis mengenai Peluang dan Tantangan AC-FTA, yang mengulas mengenai AC-FTA dilihat dari aspek positif dan negatifnya.

Kajian Hukum AC-FTA

Dasar hukum AC-FTA adalah Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between ASEAN and PRC (People’s Republic of China) yang ditandatangani oleh Presiden RI (dijabat oleh Megawati) pada tanggal 4 November 2002, di Phnom Penh, Kamboja. Kepala negara RI dan seluruh Kepala Negara ASEAN serta Kepala Pemerintahan RRC menandatangani perjanjian ini yang antara lain memuat modalitas perjanjian perdagangan barang dan target perwujudan AC-FTA secara bertahap dan mencapai implementasi penuh pada tahun 2010 (dengan dihapusnya tarif untuk produk dalam kategori Normal Track-1). Selanjutnya, pada tanggal 15 Juni 2004 framework tersebut diratifikasi oleh Presiden RI melalui Kepres Nomor 48 tahun 2004.

Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah ratifikasi perjanjian AC-FTA tersebut sah secara hukum? Undang-undang Dasar 1945 Pasal 11 ayat 3 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Sesuai dengan amanah UUD 1945 tersebut maka terbitlah Undang-undang No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Maka, dasar hukum penandatanganan dan pemberlakuan Perjanjian AC-FTA mengacu ke Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tersebut.

Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 dalam Bab III Pengesahan Perjanjian Internasional Pasal 9 ayat 2 dinyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional bisa dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Adapun dalam Pasal 10 dipersyaratkan pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan 6 hal, yaitu: (1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, (2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI, (3) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (5) pembentukan kaidah hukum baru, dan (6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Selanjutnya, dalam Pasal 11 Undang-undang tersebut dinyatakan pula bahwa pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10 dilakukan dengan keputusan presiden. Dari konteks Pasal 11 ini secara tegas dan meyakinkan bahwa pengesahan perjanjian internasional AC-FTA yang termasuk kategori perdagangan dilakukan melalui Kepres bukan oleh Undang-undang, sehingga ratifikasi AC-FTA adalah sah secara hukum.

DPR memang bisa membatalkan perjanjian internasional sesuai dengan penjelasan Pasal 11 ayat 2 dari Undang-undang Perjanjian Internasional, dengan syarat jika dipandang merugikan kepentingan nasional. Kata kuncinya di sini adalah kepentingan nasional. Argumentasi untuk membuktikan merugikan kepentingan nasional inilah yang harus dibuktikan.

Selain itu terdapat prinsip perjanjian internasional yang masih diperdebatkan karena prinsip tersebut multi-interpretasi, yaitu sesuai Pasal 4 ayat 2: prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan sesuai dengan hukum. Prinsip persamaan diantaranya diartikan dengan prinsip kesetaraan, artinya dalam kerjasama internasional harus sejajar posisinya, seperti orang yang hendak bertanding lari atau balapan harus berada dalam satu garis start yang sama. Padahal dalam pertandingan lari atau balapan pun garis start tidak sama sejajar tetapi sesuai dengan posisi nomor urut, nomor satu di depan, nomor dua di belakangnya dan seterusnya. Awal start jelas bukan faktor yang menentukan kemenangan dalam bertanding.

Optimisme versus Psimisme

Perdebatan masalah soal keadilan dan persamaan telah banyak dibahas oleh para filosof, hal ini terkait dengan nilai-nilai dasar (foundational values) yang melandasi teori-teori keadilan, seperti teori Rawls yang dikenal dalam buku A Theory of Justice, dan dikritisi oleh Kymlicka (2004). Perdagangan bebas dalam pandangan Rawls (Theory of Justice) harus berdasarkan pada landasan fairness (kesetaraan), yaitu memberikan keuntungan terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan dan membuka kesempatan yang fair. Adapun pPrinsip keadilan dalam filsafat Islam dapat dilihat dalam karya al-Farabi, sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles. Pada pemikiran Al-Farabi lebih menekankan pada konsep proporsional (menempatkan sesuatu pada tempatnya), keadilan tidak diartikan dengan prinsip kesamaan. Kaitannya dengan perdagangan, dalam bentuk apapun memang ada kelompok besar dan kecil yang terlibat. Ketika keduanya bersatu harus berdasarkan prinsip kesetaraan tanpa harus menghilangkan perbedaan tersebut.

Kesetaraan jelas berbeda dengan kesamaan, keseteraan mentolerir perbedaan di dalamnya karena tidak bisa semuanya menjadi sama, akan tetapi kesamaan (identik) merupakan jargon pemikiran Marx yang tidak mentolerir adanya perbedaan. Persamaan kedudukan yang tercantum dalam Undang-undang Perjanjian Internasional tidak dijelaskan maksudnya dalam penjelasan undang-undang tersebut. Pasti bukan ke arah konsep kesamaan karena negara kita bukan negara penganut Marxisme, akan tetapi pada kesetaraan. Kaitannya dengan perdagangan Indonesia dan China, memang terdapat perbedaan, produk China terkenal dengan harganya yang murah dan relatif bagus sehingga dapat bersaing dengan produk lokal. Namun, harga saja bukan faktor krusial yang menentukan konsumen untuk membeli. Konsumen juga memperhatikan kualitas, purna jual, pelayanan, dan faktor-faktor lain. Seperti dikemukakan oleh Kotler (2005), pakar pemasaran internasional, bahwa keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh 4P (Product/Produk, Price/Harga, Place/Distribusi, Promotion/Promosi), sehingga perbedaan-perbedaan tersebut jangan dihilangkan, biarkan konsumen yang menentukan.

Prinsip saling menguntungkan dalam AC-FTA dibantah dengan argumentasi bahwa Indonesia banyak dirugikan daripada diuntungkan dengan perjanjian perdagangan tersebut. Logika ini pun tidak tepat. Harus ada standar yang jelas ketika melakukan justifikasi keuntungan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Alasan utama yang sering didengungkan adalah AC-FTA banyak menumbangkan industri nasional. Jangan menutup mata bahwa AC-FTA juga memberikan peluang untuk melakukan ekspansi pasar yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia, seperti produk-produk pertanian, perkebunan, pertambangan, tekstil, industri kreatif, jasa dan sebagainya. Permasalahannya bukan di AC-FTA-nya tetapi sesungguhnya pada kekuatan daya saing industri nasional yang lebih rendah dengan industri China. Hal ini harus didekati dengan pendekatan konstuktif bukan destruktif. Ibarat ada tikus di rumah bukan rumahnya yang harus dibakar, tetapi dicari tikusnya dan singkirkan dari rumah tersebut. Jika permasalahan adalah pada kekuatan daya saing industri nasional, bukan berarti harus dibatalkan perdagangan tersebut. Departemen Perindustrian harus lebih berperan aktif agar industri-industri nasional tidak terpinggirkan, dengan cara memperbaiki masalah-masalah yang terkait dengan “ekonomi biaya tinggi”, antara lain perbaikan infrastuktur, permodalan, ketenagakerjaan, dan faktor-faktor lainnya.

Di samping itu, pemerintah yang dikoordinasi oleh Menteri Perdagangan diminta untuk merundingkan kembali 228 pos tarif dan saat ini telah mendapat respons yang positif. Di samping itu, perindustrian Indonesia harus memacu dirinya, karena jika tidak demikian maka akan terjadi stagnasi karena tidak ada tantangan.

Tantangan dalam bisnis biasa terjadi, di saat Amerika mengalami krisis global, perusahaan besar seperti Signicast, Microsoft, AOL, Barnes & Noble, Amazon, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya mengalami perubahan strategis dan kultural yang membuat mereka harus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Berdasarkan hasil sebuah penelitian, bahwa keberhasilan mereka adalah memberikan kepercayaan dan membina optimisme di antara karyawan-karyawannya. Hal ini yang harus diadopsi dalam menyikapi AC-FTA bagi masyarakat Indonesia, bukan psimisme yang ditanamkan tetapi rasa optimisme selain tentunya melakukan berbagai perbaikan seperti telah disebutkan sebelumnya.

**) DR. Abdurrahman Abdullah, MA, Anggota DPR-RI Fraksi Partai Demokrat, No. Anggota A-539, Komisi VI.

Sumber: http://www.abdurrahmancenter.com/index.php/artikel/1237-kajian-hukum-acfta

Minggu, 01 Januari 2012

Reverensi Studi Lapang

PENGARUH BANTUAN PERAHU MOTOR TEMPEL TERHADAP VOLUME PRODUKSI TANGKAPAN IKAN DAN PENDAPATAN NELAYAN

A. Deskripsi Perahu Motor Tempel

Menurut Ayodhoa dalam Jurwanto (2008), kapal ikan adalah jenis alat angkut di atas air yang dipergunakan dalam usaha menangkap/budidaya sumberdaya akuatik ataupun kegiatan penelitian dan pelatihan dalam bidang perikanan. Kapal-kapal perikanan mempunyai jenis dan bentuk yang beraneka ragam. Jenis dan bentuk ini berbeda dikarenakan tujuan usaha dan keadaan perairan yang berbeda. Kapal-kapal penangkap ikan meliputi kapal-kapal perikanan yang digerakkan dengan tenaga manusia, kapal/perahu yang menggunakan motor tempel, serta kapal motor yang ukurannya lebih besar dari pada kapal-kapal lainnya.

Perahu motor tempel memiliki kegunaan untuk menggerakkan perahu bila angin mati, untuk mengefisienkan arah perahu karena dapat memotong alun, untuk mempercepat jalur pelayaran, untuk menempuh jarak yang lebih jauh sehingga dapat memperoleh ikan tangkap yang lebih bermutu. Kapal/perahu motor tempel disebut juga kapal perikanan bermotor luar (out board). Kapal jenis ini dioperasikan dengan menggunakan mesin penggerak di luar kasko dan merupakan usaha penangkapan berskala kecil atau tradisional, sering juga disebut sebagai perahu jukung, dengan ukuran rata-rata panjang 7,3 m, dalam 0,55 m dan lebar 0,35 m, dan rata-rata kapal bertonage 1 – 5 GT. Bahan untuk perahu ini biasanya dari kayu meranti. Jenis mesin yang digunakan adalah motor tempel dengan kekuatan rata-rata 15 PK (Abiyoso, 2009).

B. Deskripsi Alat Tangkap

Menurut Sudirman dan Mallawa (2000), beberapa alat tangkap yang dapat digunakan bersama dengan perahu motor tempel diantaranya adalah jaring insang (Gill Net) dan pancing rawai (Long Line).

1. Jaring Insang (Gill Net)

Tertangkapnya ikan-ikan dengan gill net ialah dengan cara terjerat (gilled) pada mata jaring. Gill net terdiri dari beberapa macam yaitu: surface gill net (jaring yang terletak di atas permukaan air laut, bottom gill net (jaring yang terletak di dasar laut), mid water gill net (jaring yang berada di antara permukaan dengan dasar laut), drift gill net (jaring insang hanyut), dan surrounding gill net (jaring insang lingkar).

Gill Net dioperasikan secara pasif di dasar perairan dengan tujuan menghadang arah renang ikan. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang menjadi target penangkapan. Alat ini tidak dipasang di atas terumbu karang, karena akan tersangkut pada karang dan jaring akan robek, sehingga dipasang di pinggir terumbu karang. Gill net yang digunakan menggunakan mata jaring bervariasi dari 1 3/4 inci, 2 inci, 2 ¼ inci. dengan panjang puluhan dan bahkan dapat mencapai 100 m. Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan-ikan kecil, terutama simbula, kembung, layang, tembang, selar.

2. Pancing Rawai (Long Line)

Pancing Rawai (Long Line) terdiri dari tali utama dan pelampung dimana pada tali utama ada jarak tertentu terdapat beberapa tali cabang yang pendek dan lebih kecil diameternya, dan diujung tali cabang ini diikatkan pancing yang berumpan. Umpan yang digunakan merupakan umpan asli maupun umpan buatan yang berfungsi menarik perhatian ikan. Umpan asli dapat berupa ikan, udang, atau organisme lainnya yang hidup atau mati, sedangkan umpan buatan dapat terbuat dari kayu, plastik, dan sebagainya yang menyerupai ikan, udang, atau lainnya (Mukhtar, 2008).

C. Aspek Ekonomi Perikanan

Fenomena ekonomi menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah dari dalam maupun dari luar yang membedakan model ekonomi pertanian dengan ekonomi perikanan, yakni kepemilikan asset, daerah produksi (penangkapan ikan) yang berbeda, sistem bagi hasil dalam pengaturan upah, dan peubah kebijakan. Sehubungan dengan hal tersebut, kemampuan nelayan untuk memaksimumkan hasil tangkapan ikan ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain investasi (perahu/motor dan jenis alat tangkap), potensi sumberdaya perairan atau daerah operasi penangkapan ikan di laut, hari kerja efektif melaut, kemudahan untuk memasarkan hasil tangkapan dengan harga yang wajar, dan biaya operasi/produksi penangkapan ikan (Smith, 1987).

Kepemilikan asset kapal rumah tangga nelayan pada usaha penangkapan ikan adalah analog dengan penguasaan luas areal lahan pada ekonomi rumah tangga petani yang lazim digunakan untuk permodelan ekonomi rumah tangga petani. Mengingat besarnya (ukuran mesin) kapal berhubungan langsung dengan produktifitas dan produksi tangkapan, maka untuk menduga produksi nelayan, disamping didasarkan atas teknologi alat tangkap dan jumlah kapal, juga ditentukan oleh tonage kapal yang dimiliki (Muhammad, 2002).

Kepemilikan kapal dipengaruhi oleh penerimaan atau pendapatan melaut dan non-melaut, jumlah tenaga kerja dan jumlah sarana produksi .Namun demikian, modernisasi dalam kepemilikan asset perikanan seringkali menyebabkan juga berbagai permasalahan, antara lain ketimpangan antar nelayan (buruh dengan pemilik kapal) karena kesempatan untuk memperoleh bantuan teknologi dan modal seringkali bias pada segelintir nelayan.

Oleh karena itu pembangunan perikanan yang diharapkan sebagai sumber pertumbuhan baru, lebih diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana produksi antara lain modernisasi jenis alat tangkap dan motorisasi armada penangkapan ikan. Motorisasi berdampak pada mobilitas nelayan lebih cepat dan frekuensi melaut yang lebih tinggi, sehingga mempengaruhi hasil tangkapan ikan. Selain itu, kondisi ini menyebabkan nelayan dapat menentukan daerah operasi penangkapan ikan dan mampu meningkatkan hasil tangkapan ikan (produksi) pada saat musim dimana kemampuan nelayan untuk melaut sangat terbatas (Kusnadi, 2000).

D. Aspek Produksi

Dalam kegiatan peningkatan produksi senantiasa dilakukan upaya–upaya perbaikan dalam teknis produksi baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar dapat diperoleh manfaat yang semakin meningkat.

Dalam ilmu ekonomi, produksi adalah segala kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan atas sesuatu benda, atau segala kegiatan yang ditujukan untuk memuaskan orang lain melalui pertukaran/transaksi (Sudibyo, 1998).

Menurut Assauri dalam Kusmaya (2007) yang mengemukakan bahwa secara umum pengertian produksi diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses mentransformasikan masukan (input) menjadi keluran (output) yang berupa barang dan jasa. Dari pengertian diatas, maka pengertian tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu pengertian produksi dalam arti sempit adalah suatu kegiatan apapun yang menghasilkan barang, baik barang jadi dan setengah jadi bahan industri. Sedangkan produksi dalam arti luas adalah sebagian kegiatan yang mentranformasikan input menjadi output, mencakup seluruh aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa serta kegiatan-kegiatan lain yang menunjang usaha untuk menghasilkan produk tersebut.

Selanjutnya pengertian produksi ditinjau dari segi pertanian bahwa produksi pertanian adalah hasil yang diperoleh sebagai akibat bekerjanya beberapa faktor produksi sekaligus, yaitu tanah modal, dan tenaga kerja. Soekartawi (2003) mengatakan bahwa produksi dalam bidang pertanian atau lainnya dapat bervariasi yang disebabkan karena perbedaan kualitas. Hal ini dapat dimengerti karena kualitas yang baik dihasilkan oleh proses produksi yang baik dan dilaksanakan dengan baik.

Gasperz dalam Kusmaya (2007) menyatakan bahwa ada dua hal yang menjadi pertimbangan dalam suatu alternatif usaha, yaitu aspek teknik dan aspek ekonomi. Aspek teknik yang utama adalah adalah proses produksi. Dalam proses produksi diperlukan proses produksi yang benar di antara beberapa kemungkinan cara produksi. Perlu juga diperhatikan pemilihan mesin dan peralatan yang sesuai dengan karakteristik usaha/pekerjaan.

Kegiatan produksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam setiap organisasi yang menghasilkan produk atau jasa tertentu dan biasanya dikerjakan dalam sebuah bidang tersendiri yaitu bidang produksi. Untuk jasa yang dihasilkan, langsung dimanfaatkan oleh konsumen atau pemakai jasa, sedangkan untuk produk berupa barang, selain langsung dimanfaatkan oleh konsumen akhir ada yang dijadikan bahan baku untuk diolah lebih lanjut menjadi produk lain.

Menurut Gitosudarmo dalam Rahmawati (2007), proses produksi adalah merupakan interaksi antara bahan dasar dan bahan pembantu, tenaga kerja, dan mesin-mesin, serta alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk memproduksi/memperoleh hasil. Untuk proses produksi atau aktifitas produksi dibutuhkan suatu kombinasi dari faktor-faktor untuk memproduksi satu-satuan produksi yang dapat digunakan lebih dari satu proses atau produktivitas produksi. Jadi, untuk menciptakan suatu barang menjadi lebih bermanfaat dan memunyai nilai tambah.

Dilihat dari sifat dan bentuknya, maka kegiatan produksi perikanan bercirikan, sebagai berikut :

1. berbasis pada sumberdaya lokal sehingga dapat memanfaatkan potensi secar maksimal dan memperkuat kemandirian.

2. dimiliki dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga dapt mampu mengembangkan sumberdaya manusia.

3. menerapkan teknologi lokal (Iindigeneus technology) sehingga dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal dan tersebar dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan yang efektif.

Seorang pengusaha akan selalu berpikir bagaimana input seefisien mungkin untuk dapat memperoleh produksi yang maksimal. Cara berpikir yang demikian adalah wajar mengingat konsep bagaimana memaksimumkan keuntungan dan berdampak kepada pendapatan atau dalam ilmu ekonomi sering disebut pendekatan memaksimumkan profit (profit maximization). Pendekatan yang digunakan untuk pelaku usaha perikanan yaitu dengan sumberdaya perikanan, diasumsi bahwa bagaimana memperoleh keuntungan maksimum dengan keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki (Soekartawi, 2003).

E. Pendapatan

Setiap kegiatan atau usaha yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan hasil atau keuntungan. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan biaya-biaya pendapatan maksimum dapat ditingkatkan dengan cara meminimumkan biaya untuk penerimaan yang tepat atau meningkatakan penerimaan pada biaya yang tetap, pendapatan dapat dihitung dengan rumus PD = TR-TC, dimana PD adalah pendapatan, TR adalah total penerimaan dan TC adalah total biaya ( Soekartawi, 2003).

Ada beberapa ukuran pendapatan usaha tani, yaitu pendapatan kotor usaha tani (gross farm income) dan pendapatan bersih usaha tani (net farm income). Pendapatan kotor (penerimaan) merupakan jumlah semua produksi (baik yang dijual maupun yang tidak dijual) dan dihasilkan dalam suatu kegiatan usaha tani dikalikan dengan harga yang berlaku di pasar. Sedangkan pendapatan bersih usaha tani merupakan selisih antara pendapatan kotor usaha tani dengan biaya produksi usaha tani. Biaya produksi itu sendiri merupakan semua pengeluaran yang dinyatakan dengan uang yang diperlukan untuk menghasilkan produksi.

Menurut Soekartawi dalam Hasniwati (2006), tujuan dari analisis pendapatan adalah untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha yang dapat mempengaruhi perencanaan dan untuk mengetahui apakah kegiatan usaha mengalami keberhasilan atau tidak. Untuk meningkatkan pendapatan nelayan diperlukan cukup banyak persyaratan, disamping pengetahuan/tingkat pendidikan dan keterampilan juga berbagai jenis modal seperti tersedianya peralatan dan sarana produksi. Sampai sekarang ini nelayan kita tergolong sebagai kelompok masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Peningkatan pendidikan berkelanjutan sangat diperlukan dalam penyerapan teknologi (baik teknologi budidaya maupun penangkapan). Kemampuan nelayan untuk memaksimumkan penghasilannya ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain modal kerja, potensi sumberdaya perikanan, kemudahan untuk memasarkan hasil dengan harga yang wajar, dan biaya operasional.