Pesan Pembuka

Selamat Datang Kaum Intelektual Sang Pemerhati Ekonomi

Rabu, 17 Agustus 2011

INDONESIA BELUM MERDEKA

NEGARA SETENGAH JAJAHAN SETENGAH FEODAL

Belajarlah dari sejarah! Demikian sebuah nasehat yang sangat baik bagi kita yang masih hidup, bekerja dan berjuang hari ini. Mempelajari sejarah dan menarik pelajaran-pelajaran penting dan berguna, adalah sikap hidup yang mesti dimiliki oleh setiap pejuang yang menginginkan masa depan yang lebih cerah. Dengan mempelajari sejarah, kita akan dapat memahami dan membongkar masalah-masalah yang kita hadapi hari ini. Kita juga akan mengerti apa yang menjadi penyebab dari munculnya masalah-masalah tersebut, dan bagaimana kita harus memecahkannya. Karena pada dasarnya setiap hal itu memiliki sejarah, dan tidak tiba-tiba ada seperti hari ini. Seperti halnya diri kita pun merupakan hasil perkembangan dari mulai masa balita, kanak-kanak, remaja, dewasa dan sekarang ini. Ada serangkaian proses konkret yang terjadi dalam diri kita yang menentukan perkembangan fisik, mental dan kesadaran kita di samping juga pengaruh lingkungan di luar diri kita seperti keluarga, sekolah dan masyarakat.

Kekayaan Alam, Kemiskinan Rakyat

Indonesia adalah sebuah negeri kepulauan yang kaya raya dengan kekayaan alam melimpah ruah dari mulai minyak bumi, gas alam, dan bahan tambang lainnya seperti tembaga, nikel, timah, bijih besi, batu bara dan emas. Demikian juga tanahnya sangat subur karena merupakan jenis tanah latosal (tanah sisa pecahan vulkanik) yang kadar kesuburannya sangat tinggi, dengan bermacam-macam tanaman yang terlengkap. Di samping itu juga kaya dengan keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah berupa tanaman, satwa dan ikan di perairan. Demikian pula posisi strategis Indonesia di antara dua samudera yang menghubungkan dua benua besar Asia dan Australia, memiliki peranan ekonomi politik yang penting khususnya bagi lalu lintas perdagangan dunia. Populasi penduduk Indonesia telah mencapai 220 juta orang, yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan bahasa. Rakyat Indonesiapun dikenal sebagai orang-orang yang ulet, kuat dan pekerja keras.

Namun kenyataan yang ada hari ini justru memperlihatkan kontradiksi atau pertentangan yang tajam: kekayaan alam Indonesia tetapi kemiskinan rakyatnya. Beberapa kenyataan kemiskinan rakyat Indonesia dapat dilihat dari beberapa fakta diantaranya Jutaan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, Tingkat pengangguran yang sangat tinggi dan semakin besar dari tahun ke tahun apalagi dtambah beberapa waktu lalu banyak perusahaan yang gulung tikar akibat krisis, Upah yang diterima oleh buruh di Indonesia tercatat sebagai upah yang sangat rendah sedangkan kebutuhan pokok semakin meningkat. Indonesia merupakan negara dengan upah buruh nomor 6 terendah di dunia setelah Vietnam,Thailand, India, Filipina dan Cina. Jutaan orang terpaksa bekerja di luar negeri sebagai TKI dengan jaminan keamanan dan keselamatan kerja yang sangat rendah serta kondisi hidup sangat memprihatinkan, Petani di Indonesia sebagian besar merupakan tani miskin dan buruh tani karena tidak memiliki tanah. Kekayaan alam dan kemiskinan rakyatnya, merupakan kenyataan sosial yang mesti dimengerti dan dipahami oleh seluruh lapisan massa rakyat di negeri ini.

Sejarah rakyat Indonesia adalah sejarah penindasan dan sejarah perlawanan. Karena penindasan dan perlawanan seperti dua sisi dari satu keping mata uang. Dari sejarah perkembangan masyarakat, kita dapat membagi sejarah perkembangan masyarakat Indonesia ke dalam beberapa masa: Masa Sebelum Penjajahan (Kolonialisme) Masyarakat Indonesia ratusan tahun sebelum masuknya penjajah asing, menurut catatan sejarah yang ada, pada masa-masa awalnya hidup dalam kelompok-kelompok secara komunal. Cara hidup berkelompok ini menjadi hal yang wajar mengingat pada waktu itu jumlah manusianya masih sedikit sementara keadaan alamnya masih sangat keras dan dapat bertahan hidup. Masyarakat pada waktu itu masih menggunakan alat kerja yang primitif, kebanyakan terbuat dari batu. Dengan tingkat kebudayaan yang masih terbelakang, hidup mereka banyak disandarkan pada kemampuan berburu dan meramu makanan serta belum dikenal sistem pertanian. Semua alat kerja dan hasil kerja baik berburu maupun meramu dianggap milik bersama dan dinikmati bersama. Sehingga cara hidupnya lebih dilandasi oleh kerja sama dan belum ada penindasan manusia atas manusia lainnya.

Penduduk asli yang pernah mendiami Indonesia adalah suku bangsa Wedda dan Negrito, yang di kemudian hari terusir oleh suku bangsa pendatang Mhon Kmer yang datang dari daratan Tiongkok. Suku bangsa Mhon Kmer memiliki tingkat kebudayaan yang lebih maju karena telah mengenal alat kerja dan persenjataan yang terbuat dari besi dan logam. Semenjak itulah masyarakat Indonesia mengenal masa kepemilikan budak, dan dengan demikian menandai dimulainya sejarah penindasan manusia atas manusia lainnya. Masa ini mengalami puncak kejayaannya ketika zaman kerajaan Majapahit dan mengalami keruntuhan seiring dengan runtuhnya Majapahit. Setelah itu, Indonesia memasuki zaman feodalisme, pertama-tama ketika banyak berdiri kerajaan Islam terutama di daerah pesisir pantai.

Sampai kemudian bangsa asing banyak berdatangan yang banyak membawa pengaruh penting bagi perkembangan masyarakat Indonesia. Masa Penjajahan (Kolonial) dan Feodal Permulaan penjajahan (kolonialisme) ditandai dengan masuknya bangsa asing terutama ketika kedatangan VOC di Indonesia yang melakukan perdagangan rempah-rempah dan berujung pada penguasaan secara monopoli perdagangan di Indonesia. VOC melakukan penaklukan terhadap kekuasaan lokal dari mulai pulau Sumatra sampai dengan Maluku. Dengan ditundukkannya kekuasaan lokal di bawah kaki kekuasaannya, maka VOC menikmati monopoli atas tanaman dan rempah-rempah untuk kepentingan pasar dunia. Pada saat itu, VOC telah berhasil memelihara penguasa-penguasa lokal yang harus bekerja untuk kepentingan VOC dengan melakukan penindasan terhadap bangsanya sendiri.

Setelah VOC mengalami kebangkrutan karena tingginya korupsi di dalam dirinya dan kemudian dinyatakan bubar pada tahun 1799, maka Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintah penjajahan Belanda. Pada kurun waktu 10 tahun berikutnya, Indonesia sempat di bawah kekuasaan Perancis (Daendles,1808-1811) dan Inggris (Raffles,1811-1816). Di bawah kekuasaan ke dua Gubernur Jendral Hindia Belanda tersebut, mulai diperkenalkan pajak tanah (landrent) sebagai ganti upeti berupa penyerahan wajib hasil panen. Demikian pula struktur birokrasi kolonial diperluas sampai menjangkau desa-desa dengan mengangkat bangsawan lokal sebagai wakil kekuasaan kolonial. Pada masa ini, penderitaan massa rakyat bertambah dalam dan berat sebagai akibat tingginya pajak, munculnya banyak pungutan (cukai) baik oleh penguasa kolonial maupun lokal. Kondisi tersebutlah yang kemudian melatar belakangi meledaknya

Perang Jawa (1825-1830) yang menimbulkan kengerian dan kerugian besar di pihak penjajah. Jadi, perlawanan dengan penulisan sejarah umum yang melihat Perang Jawa dari epos kepahlawanan seorang Diponegoro, kenyataan di atas menunjukkan bahwa Perang Jawa dapat terjadi lebih karena kepahlawanan dan perlawanan massa rakyat yang ditindas kolonialisme Belanda. Masa Penjajahan (Kolonial) dan Setengah Feodal Akibat Perang Jawa, Belanda mengalami kerugian cukup besar baik secara keuangan maupun tenaga manusia. Inilah yang di kemudian hari menjadi pelajaran penting bagi imperialisme (penjajah asing) tentang mahalnya biaya yang harus dikeluarkan ketika melakukan penjajahan secara langsung karena harus berhadap-hadapan dengan massa rakyat. Kemudian Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa (STP) untuk menutupi defisit keuangan di negara mereka. Dari STP pemerintah kolonial Belanda mampu meraup keuntungan sebesar 725 juta gulden pada tahun 1870, jumlah yang merupakan sepertiga dari pendapatan negara mereka. Dengan keuntungan besar tersebut, Belanda mampu untuk melunasi hutang-hutangnya, menurunkan pajak bagi rakyatnya dan mensubsidi pabrik serta membangun pelabuhan di Amsterdam. Sementara rakyat Indonesia mengalami penderitaan karena harus menyerahkan seluruh tanah dan tenaganya untuk tanam paksa. Yang harus dicatat bahwa pemerintah kolonial Belanda berhasil melaksanakan STP karena dukungan para penguasa lokal-feodal dalam memobilisasi tanah dan tenaga kerja. Dan para penguasa lokal-feodal ini juga mendapatkan keuntungan berupa gaji yang tinggi. Seperti misalnya seorang residen mendapatkan gaji sebesar 15.000 gulden/tahun dengan ditambah persenan 25.000/tahun, atau seorang Bupati yang mendapat gaji 15.000 gulden/tahun.

Paska diberhentikannya pelaksanaan STP secara resmi pada tahun 1870, kekuasaan kolonial di Indonesia membuka kran bagi masuknya modal swasta asing Belanda. UU Agraria diterbitkan untuk memfasilitasi pihak swasta melakukan penguasaan tanah dalam jumlah besar melalui hak erpacht (HGU-sekarang). Masuknya swasta asing dan juga pelaksanaan politik etis pada awal 1900-an tidaklah bermaksud untuk melakukan proses industrialisasi di Indonesia. Faktanya perkebunan-perkebunan yang ada masih didasarkan pada basis feodalisme berupa monopoli penguasaan tanah dan dipergunakkannya aparatus feodal untuk memobilisasi tanah dan tenaga kerja. Di sinilah kemudian terungkap kebenaran kenyataan bahwa basis bercokolnya penindasan imperialisme adalah feodalisme. Demikian juga pada masa politik etis, pembangunan irigasi lebih dimaksudkan untuk kepentingan perkebunan, pendidikan kaum pribumi untuk pengisian birokrasi kolonial sehingga lebih efisien dan transmigrasi pada hakekatnya merupakan mobilisasi tenaga kerja murah untuk perkebunan di luar jawa.

Pendirian pabrik pengolahan hasil perkebunan dan berdirinya jawatan kereta api pada tahun akhir abad ke 19 dan awal abad 20 menjadi awal mula kelahiran klas buruh di Indonesia. dan semenjak itu, gelora pelawanan rakyat Indonesia menentang kolonialisme Belanda tidak pernah berhenti dan semakin meningkat. Mulai dari pemogokan-pemogokan buruh sampai dengan pemberontakkan kaum tani pada tahun 1888 di Banten dan pemberontakkan nasional kaum tani 1926. Demikian juga pada abad 20-an sejarah pergerakan di Indonesia memulai babak baru dengan lahirnya organisasi rakyat yang memiliki karakter modern dan nasional seperti Sarekat Islam (SI) maupun juga ISDV. Lahirnya organisasi buruh menjadi sejarah yang penting dalam gerakan revolusioner rakyat Indonesia melawan imperialisme Belanda maupun imperialisme fasis Jepang sampai pada puncaknya yaitu revolusi 17 Agustus 1945.

Masa Setengah Jajahan dan Setengah Feodal

Sampai akhirnya pada tahun 1949, Indonesia harus menandatangani perjanjian KMB yang sangat merugikan kepentingan rakyat Indonesia. Sejak 1949 inilah, Indonesia menjadi negeri setengah jajahan. Dijajah secara ekonomi, politik, budaya dan kemiliteran tetapi tidak secara langsung. Rezim Soekarno dengan desakan dari gerakan massa rakyat melakukan perlawanan terhadap imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Mulai dari upaya nasionalisasi perusahaan asing yaitu perusahaan Belanda (1957), Inggris (1958) dan kemudian menyusul upaya nasionalisasi perusahaan Amerika pada 1960-an. Demikian pula penerbitan UU Pokok Agraria (UUPA) dan UU Pokok Bagi Hasil (UUPBH) pada 1960, merupakan upaya untuk menghancurkan sisa feodalisme. Cengkeraman imperialisme semakin kuat ketika rezim Soekarno berhasil digulingkan dan digantikan oleh Soeharto. Sejak itulah Indonesia semakin didominasi oleh imperialisme khususnya imperialisme pimpinan AS. Demikian pula Indonesia masih menjadi negeri setengah feodal, karena kaum tani belum dapat dibebaskan dari penindasan sisa-sisa feodalisme.

Pada masa rezim Soeharto yang merupakan rezim boneka imperialisme AS, berbagai kebijakan ekonomi, politik dan kemiliteran diabdikan untuk kepentingan imperialisme. Misalnya kebijakan tentang penanaman modal asing dengan dikeluarkannya UU PMA pada 1967 dan juga kebijakan sektoral lainnya seperti UU tentang pertambangan dan kehutanan. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka imperialisme pimpinan AS dapat menguasai kekayaan alam di Indonesia baik secara langsung melalui perusahaannya yang beroperasi di Indonesia maupun melalui perusahaan patungan dengan kapitalis nasional sebagai kompradornya. Seperti misalnya PT Freeport yang menguasai tambang emas di Papua, Exon Mobil, Caltex dan Stanvac menguasai minyak bumi dan batubara di Sumatra, Santa Fe di Bojonegoro, PT Newmont di Kalimantan, Sulawesi dan NTB, atau Goodyear dan US Rubber yang bergerak di pengolahan karet alam.

Demikian juga imperialisme mendapatkan sumber daya kehutanan seperti kayu dan lainnya guna kebutuhan industri mereka melalui tangan para kapitalis komprador yang melakukan monopoli penguasaan hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Imperialisme memang berkepentingan akan tiga hal penting yaitu bahan baku untuk industri di negara mereka, tersedianya buruh murah dan pasar bagi produk-produk mereka. Bahan mentah industri telah mereka dapatkan dengan melakukan penguasaan terhadap kekayaan alam baik secara langsung maupun melalui kaki tangannya. Kenyataan tersebutlah yang menyebabkan mengapa sampai hari ini industri nasional di Indonesia tidak pernah mengalami perkembangan dan kemajuan. Karena memang tidak diijinkan oleh kekuatan imperialisme. Dengan tumbuh berkembangnya industri nasional, maka imperialisme akan kehilangan suplai bahan baku, tenaga kerja murah dan pasar. Ini yang tidak mereka kehendaki.

Sampai hari ini belum ada industri dasar dan berat di Indonesia. Yang ada adalah industri manufaktur yang sangat tergantung pada bahan baku impor. Seperti misalnya pabrik baja di Indonesia sangat tergantung pada impor baja dan besi dari luar negeri yang semakin tahun semakin mahal. Di samping itu, industri di Indonesia juga sangat ditentukan oleh kekuatan imperialisme. Contoh paling nyata adalah hengkangnya perusahaan asing seperti PT Sony ke negara lain karena mencari buruh dengan upah yang lebih rendah. Atau gulung tikarnya industri Tekstil dan Produk Tekstil karena kalah bersaing dengan produk dari Vietnam dan Cina yang biaya buruh di negaranya lebih murah. Dan akibatnya jutaan buruh menjadi korban karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sekarang ini, kekuatan imperialisme menjadi semakin berdominasi. Karena krisis yang terjadi di dalam dirinya sendiri sebagai akibat over produksi dan jatuhnya tingkat keuntungan, imperialisme melancarkan kebijakan neo-kolonialismenya melalui program neoliberal berupa privatisasi, liberalisasi perdagangan dan berbagai paket deregulasi. Dengan ditopang oleh institusi pendukung utamanya yaitu Bank Dunia, IMF, WTO dan PBB maka imperialisme AS semakin mampu melakukan penguasaan secara ekonomi, politik, militer dan kebudayaan di Indonesia. Sejumlah perusahaan negara yang penting dan strategis telah berpindah tangan ke tangan imperialis melalui program privatisasi. Dari mulai PT Semen Gresik Group (SGG), PT Semen Tonasa, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Semen Padang, PT Telkom dan PT Indosat. Tak heran kalau kemudian Bank Pembangunan Asia mengucurkan dana sebesar 36 milyar untuk membiayai promosi program privatisasi.

Program penyesuaian struktural yang tidak hanya dilakukan di Indonesia atau Asia tetapi di negara-negara lain di Amerika Latin dan Afrika, telah menimbulkan kesengsaraan global. Di Amerika Latin, program penyesuaian ini menimbulkan tekanan yang hebat, mengikis kemajuan yang telah dicapai pada tahun 1960-an dan 1970-an. Jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan meningkat dari 130 juta pada tahun 1980 menjadi 180 juta pada awal tahun 1990-an. Tetapi perlu dicatat bahwa watak sebenarnya dari imperialisme adalah kekerasan. Program penyesuaian struktural yang dipaksakannya di negara setengah jajahan dan jajahan, tidak mampu sepenuhnya untuk mengatasi krisis di dalam dirinya. Oleh karena itu, imperialisme tidak segan-segan untuk melancarkan agresi atau perang imperialisnya.

Hal itu ditunjukkan oleh AS ketika melancarkan serangan ke Afghanistan atau Irak dan mempropagandakan secara luas histeria perang terhadap terorisme yang hakekatnya adalah kepentingan terselubung imperialisme AS untuk mengukuhkan dan memperluas kekuasaan imperiumnya di dunia. Demi memuluskan pencapaian kepentingannya, maka selain menggunakan kekerasan dan perang sebagai watak aslinya, imperialisme juga berupaya untuk melakukan penguasaan dan dominasi di lapangan kebudayaan. Bentuk konkretnya adalah dengan menguasai cara berpikir dan cita rasa intelektual di kalangan rakyat khususnya lapisan tengah perkotaan (mahasiswa, dosen, guru, pengacara, dokter dan sebagainya) sejalan dengan kepentingan mereka. Pemikiran dan pemahaman ala Amerika semakin bersarang dengan kokoh dalam alam pikiran kita apalagi ketika kiblat sekolah dan universitas serta gaya hidup keseharian kita banyak mengacu pada semua yang serba Amerika.

Dari mulai cara kita menampilkan diri, apa yang kita makan sampai pikiran kita tentang demokrasi, negara, ekonomi dan politik. Banyak dari lapis tengah perkotaan berlomba-lomba bekerja di perusahaan asing dan melanjutkan pendidikan di Eropa dan Amerika. Dan memang sejumlah kemudahan diberikan oleh AS khususnya bagi lapis menengah perkotaan untuk belajar di sana. Persis seperti berlakunya Politik Etis di zaman kolonialisme Belanda, di mana banyak orang pribumi mendapat kesempatan untuk belajar di negeri Belanda. Maksud sebenarnya pemerintah kolonial Belanda tentu bukan untuk mencerdaskan rakyat di negeri jajahannya, tetapi mendidik orang pribumi untuk menjadi bagian dari birokrasi kolonialnya sehingga dapat lebih efisien. Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka sudah jelaslah bahwa imperialisme bersama-sama dengan sisa-sisa feodalisme dan kapitalisme birokrasi merupakan musuh terbesar rakyat Indonesia, tiga setan yang harus dihancurkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar