Pesan Pembuka

Selamat Datang Kaum Intelektual Sang Pemerhati Ekonomi

Jumat, 01 Juli 2011

TEORI KEUNGGULAN KOMPARATIF

Kegagalan Globalisasi Ekonomi
By: KASMAN FREEDOM
Bagian II:

Dinegara-negara seperti Taiwan, Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan juga terjadi aliran investasi, sehingga mereka mempunyai modal untuk melakukan pembangunan yang berguna untuk memacu pertumbuhan ekonomi, sementara negara-negara dunia ketiga lainnya kecil sekali menikmati aliran investasi tersebut. Akibatnya, sebagian besar negara-negara dunia ketiga ini tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena langkanya modal yang berasal dari investasi yang masuk.

Di sisi yang lain, hasil-hasil perundingan melalui berbagai putaran dalam kerangka GATT dan WTO ditengarai semakin menyulitkan posisi negara-negara miskin. Mereka dipaksa untuk membuka seluas-luasnya wilayah mereka untuk invetasi, sementara pada saat bersamaan perusahaan-perusahaan nasional mereka tidak mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang mempunyai banyak keunggulan, baik dalam bidang teknologi, manajemen, maupun informasi. Akibatnya, banyak perusahaan nasional di negara-negara berkembang gulung tikar. Studi yang dilakukan oleh petras dan Veltmeyer (2002) di negara-negara Amerika Latin menyebutkan bahwa seiring dengan investasi perusahaan-perusahaan amerika Serikat di wilayah tersebut melalui berbagai program privatisasi dan investasi bentuk lain, diikuti pula oleh kebangkrutan ribuan industri-industri lokal.
Di sisi lain, tantangan terhadap globalisasi juga menyangkut dimensi ideologis. Beberapa penulis sudah mulai mengajukan kritik terhadap asumsi-asumsi yang dibangun oleh kalangan pendukung neoliberal mengenai pasar dan peran negara. Bagi para pendukung liberalisme, pikiran-pikiran Adam Smith dan David Ricardo menjadi landasan utama untuk mendorong liberalisasi dan perdagangan bebas. Namun, pengagungan pasar yang sangat berlebihan ini dan usaha-usaha untuk memarginalkan peran negara bangsa malahan menyalahi, atau dalam pandangan Korten “penghianatan” terhadap pandangan Adam Smith dan David Ricardo. Gagasan Adam Smith pada dasarnya di tujukan untuk sebuah pasar yang hanya terdiri dari penjual dan pembeli kecil. Ia menunjukkan cara kerja pasar semacam itu akan cenderung menhasilkan harga yang memberikan keuntungan wajar bagi tanah, tenaga kerja, dan modal; menghasilkan keluaran yang memuaskan bagi pembeli dan penjual;dan menghasilkan keluaran optimal bagi masyarakat dari alokasi sumber daya. Selanjutnya, ia juga menegaskan bahwa hasil ini hanya akan dicapai bilamana tidak ada pembeli atau penjual yang cukup besar untuk memengaruhi harga pasar. Oleh karena itu, dengan tegas Adam Smith menentang segala macam kekuatan monopoli, yang didefinisikannya sebaga kekuatan penjual untuk menetapkan harga di atas harga wajar selama waktu yang tidak terbatas. Ini tentu saja bertentangan dengan fenomena globalisasi sekarang ini, dimana korporasi-korporasi besar menguasai dunia. Korporasi-korporasi besar ini berasal dari negara-negara maju dan jumlah modal mencapai miliaran dollar.
Sementara itu, agar pasar tersebut berlaku efisien maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, dan makin besar pelanggaran terhadap prasyarat-prasyarat ini maka pasa akan semakin tidak efisien. Prasyarat pertama adalah pasar itu harus bersaing. Persyaratan kedua menyangkut biaya total produksi haruslah ditanggung pihak produsen dan dimasukkan kedalam harga jual produsen. Para ekonom menamai ini sebagai internalisasi biaya. Jika sebagian dari biaya produksi ditanggung oleh pihak ketiga yang sama sekali tidak berpartisipasi atau menikmati manfaat dari transaksi, maka para ekonom mengatakan bahwa biaya tersebut telah dieksternalisasi, dan harga produk menjadi terdistorsi. Dengan kata lain, setiap biaya yang dieksternalisasi akan memberi keuntungan bagi pihak tertentum, sedangkan masyarakat akan menanggung bebannya. Prasyarat ketiga adalah dalam teori pasar Adam Smith dalm the Wealth of Nations menjelaskan asumsinya secara eksplisit bahwa modal haruslah berakar di lokasi tempat pemiliknya tinggal, dan bahwa persyaratan ini sangat penting untuk memungkinkan “tangan tak kentara(invisible hand)” pasar menjelmakan pengejaran kepentingan pribadi menjadi maslahat yang optimal bagi masyarakat.
Dengan demikian, ketidakefisienan pasar sekarang ini (terbukti dengan kehancuran ekonomi banyak negara di Asia Timur dan Amerika Latin) adalah karena ketiadaan prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi bagi berlakunya pasar yang efektif. Inilah yang mendorong mengapa relevansi teori keunggulan komparatif tersebut dapat terangkum dalam uraian berikut.
Kesulitan pertama yang dihadapi oleh teori keunggulan komparatif adalah teori ini, seperti telah disinggung diatas, digunakan pada waktu ada kontrol nasional pada pergerakan modal. Ricardo dan Smith menganggap modal tidak bergerak atau mobile dan hanya disediakan untuk investasi nasional. Mereka juga berpendapat bahwa kapitalis adalah pertama dan terutama anggota masyarakat politik nasional, yang dalam konteks ini ia membentuk identitas komesial. Dalam pandangan Smith “sitangan ajaib” menyaratkan hubungan-hubungan internal dan ikatan-ikatan masyarakat sehingga si kapitalis atau si pemilik modal merasakan “keengganan alam” atau a natural disclinaton” untuk menanamkan modalnya keluar negeri. Dengan demikian, teori ini tidak dapat meramalkan a world of cosmopolitan money managers transnational corporations yang disamping mempunyai liabilitas terbatas dan immoralitas yang diberikan oleh pemerintah-pemerintah nasional, sekarang ini mengabaikan pemerinah-pemerintah itu dan tidak lagi melihat komunitas nasional sebagai konteks mereka. Munculnya kaum kapitalis yang telah membebaskan diri dari kewajiban-kewajiban dan loyalitas masyarakat, dan yang tidak mempunyai “a natural disclination” untuk menanamkan modal keluar negeri, akan tampak absurd (Day dan Cobb, 1989: 215). Pasar modal bergerak dan berubah arah adalah tantangan yang besar bagi teori keunggulan komparatif.

GLOBALISASI EKONOMI


Kegagalan Globalisasi Ekonomi
By: KASMAN FREEDOM
BAGIAN I:
Globalisasi ekonomi telah menjadi diskusi serius di kalangan ilmuwan. Diskusi tersebut melahirkan dua kubu yang asling berseberangan, yakni kubu ynga mneduikung globalisasi erkonomi sebagai cara tak terelakan lagi, dan karena itu semua negara bangsa harus membuka akses pasar bagi pasar global sebab hanya dengan cara inilah kesjehteraan, produktivitas, dan efisiensi ekonomi dapat dicapai. Namun demikian, jika globalisasi ekonomi adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh efisiensi ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa banyak ilmuwan, masyarakat, dan kalangan LSM menentang globalisasi. World Social Forum di Alegre Brazil yang diselenggarakan bersamaan dengan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) menjadi cermin penentangan tersebut. Selain itu, usaha-usaha melawan globalisasi juga diwujudkan dalam bentuk-bentuk demonstrasi seperti yang telah dilakukan di Seattle pada 1999. Peristiwa-peristiwa ini menimbulkan pertanyaan serius yang layak dicari jawabannya menyangkut masa depan globalisasi (Gil[pin dan Gilpin, 2002), dan mengenai tata dunia baru yang lebih menjamin keadilan masyarakat.
Kekhawatiran akibat dampak yang merusak dari globalisasi ekonomi sebenarnya tidak hanya menjadi monopoli negara-negara dunia ketiga, tetapi juga masyarakat dinegara-negara ini juga dikhawatirkan oleh munculnya perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional yang menanamkan investasi mereka diluar negeri untuk mencari keuntungan komparatif, seperti sumber daya alam, pajak yang rendah, maupun upah yang murah. Mereka menganggap bahwa perusahaan seperti ini menjadi penyebab tingginya angka pengangguran di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Ini karena dengan menginvestasikan usahanya diluar negeri, masyarakat-masyarakat di negara industri maju tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
Selain itu, kekhawatiran seperti ini juga muncul dari semakin terbukanya pasar. Masyarakat di negara maju juga dikhawatirkan oleh adanya invasi yang dilakukan oleh perusahaan yang berasal dari negara maju lainnya. Misalnya, banyak publik Amerika Serikat merasa khawatir atas serbuan perusahaan dan produk-produk Jepang. Hal ini telah menjadi isu yang sensitif bagi publik Amerika Serikat dalam beberapa tahun belakangan. Kekhawatiran ini lantas menjadi salah satu penyebab munculnya regionalisme perdagangan. Di tengah arus globalisasi yang sekarang ini tengah marak didengunkan oleh para pengambil kebijakan dinegara-negara maju, dan melalui badan-badan internasional, tetapi pada kenyataannya telah muncul fenomena baru, yakni regionalisme ekonomi (lihat Robert Gilpin, 2001). ketakutan negara-negara Eropa terhadap dominasi perusahaan perusahaan Amerika Serikat telah mendorong terjadinya regionalisme melalui NAFTA yang beranggotakan negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko. Jepang, sebagai salah satu negara maju yang secara formal tidak mempunyai bentuk-bentuk kerja sama regional sejenis kini juga tengah berusaha berorintasi ke wilayah Asia Timur. Dengan demikian, regionalisme menjadi bagian yang lebih kurang integral dengan fenomena globalisasi. Inilah salah satu yang kemudian menjadi paradoks dalam globalisasi ekonomi itu sendiridalam bentuk regionalisme ekonomi. Jelas bahwa bentuk-bentuk semacam ini semakin sulit untuk mengintegrasikan pasar, karena masing-masing negara akan mengedepankan kepentingan kelompoknya masing-masing. Oleh karena itu, Dani Rodrik mengatakan bahwa:
“Dengan menggunakan banyak ukuran, ekonomi dunia lebih terintegrasi tinggi pada saat standar emas diperlakukan di akhior abad 19 ketimbang yang berlaku sekarang ini. Sementara di Amerika serikat dan Eropa, volume perdagangan bergairah kembali setelah tahun 1950, tetapi baik Amerika Serikat maupun Eropa tidak terbuka saat ini di bandingkan dengan periode dibawah standar emas. Sementara ekspor Jepang secara aktual berkurang dari total produksinya saar ini dibandingkan selama periode antarperang.”
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa globalisasi yang katanya melebur negara bangsa kedalam entitas global, dimana pembahasan menyangkut batas-batas negara bangsa tidak lagi relevan karena sudah terintegrasi kedalam pasar global, pada kenyataannya, masing-masing negara terisolasi satu dengan yang lainnya. Menurut Rodrik, meskipun revolusi dalam bidang transportasi dan komunikasi serta kemajuan substansial yang dibuat dalam liberalisasi perdagangan selama lebih kurang tiga dekade, ekonomi nasional tetap terisolasi satu dengan yang lain. Isoalasi ini mempunyai implikasi yang krusial, sebagaimana diungkapkan Paul Krugman bahwa hampir semua pemerintahan dinegara-negara industri maju tidak terbelenggu oleh globalisasi ekonomi sebagaimana diyakini selama ini. Mereka masih tetap mempunyai otonomi yang substansial dalam mengatur ekonomi mereka, dalam menyusun kebijakan sosial, dan kebijakn-kebijakan pengelolaan dana dan dalam memelihara lembaga yang berbeda dengan partner dagang mereka. Ini berarti bahwa usaha-usaha mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar global tidak mempunyai pengaruh yang signifikan bagi otonomi negara bangsa tersebut. Pandangan Rodrik ini tentunya sangat berlainan dengan pandangan para pendukung ekstrim globalisasi, dimana globalisasi telah memarginalkan peran negara dan diskusi menyangkut negara bangsa tidak lagi relevan karena perannya telah digantikan oleh aktor-aktor nonteritorial.
Kekhawatiran mengenai akibat-akibat baruk yang ditimbulkan oleh globalisasi juga menyangkut dimensi pemerataan pendapatan, dan dengan demikian menyangkut keuntungan yang diperoleh negara-negara berkembang dalam proses tersebut. Ini pada akhirnya juga menyangkut kesejahteraan umat manusia. Banyak kalangan menilai bahwa globalisasi hanya menguntungkan negara-negara majudan semakin memiskinkan negara-negara berkembang. Pendapatan masyarakat dinegara-negara berkembang menurun drastis jika dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di negara-negara maju pada era 1960-an dan 1970-an. Ini berarti bahwa seiring proses globalisasi juga memunculkan kemiskinan, dan dengan demikian kesenjangan. Masyarakat dinegara maju menikmati kemakmuran yang berlimpah, sementara masyarakat dinegara-negara Dunia ketiga masih hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Fenomena ini tercermin dalam data yang dilaporkan oleh UNDP pada 1992.Menurut laporan ini diperkirakan bahwa 20% dari populasi dunia yang tinggal dinegara-negara termiskin hanya memperoleh 82,7% dari total pendapatan dunia, sementara 20% lainnya yang tinggal dinegara-negara termiskin hanya menerima 1,4%. Selanjutnya pada 1989, rata pendapatan dari 20% masyarakat yang hidup dinegara-negara paling kaya mencapai 60 kali lebih tinggi ketimbang 20% masyarakat yang hidup di negara-negara termiskin. Rasio ini merupakan dua kali rasio tahun 1950, sebesar 30 kali. Selanjutnya, laporan Human Development pada 1996 menunjukkan bahwa selama tiga dekade yang lalu, hanya 15 negara yang mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi, sementara 89 negara lainnya mengalami kemerosotan dalm pertumbuhan ekonomi mereka.
Meskipun data diatas bukan merupakan data terbaru, tetapi setidaknya data tersebut menunjukkan kecenderungan yang negatif antara globalisasi dengan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tesis kaum neoliberal. Pada kenyataannya, hanya negara-negara maju yang menikmati keuntungan dari globalisasi ekonomi. Pertanyaannya kemudian mengapa hal ini terjadi? Pertanyaan ini akan terjawab jika kita bisa melacak distribusi investasi dunia sebagaio salah satu motor pembangunan yang terpenting. Seperti ditunjukkan oleh banyak penulis bahwa investasi yang ditanam oleh perusahaan-perusahaan multinasional ternyata hanya berkisar di tiga pelaku utama ekonomi dunia, yakni: Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.